OKE

SAMBUTAN MANDIKBUD DALAM RANGKA HARI PENDIDIKAN NASIONAL 2021


Para Pendidik dan Pejuang Pendidikan di seluruh Tanah Air. Hari ini adalah "harinya kita" yang diwadahi oleh negara sebagai kelanjutan dan bukti perjuangan pendidikan di Indonesia pernah ada dan akan terus ada seiring dengan tantangan dunia dan kebutuhan para pembelajar yang terus berburu baru. Sejatinya memang setiap hari adalah harinya pendidikan, karena segala aspek kehidupan kita yang dijalani penuh dengan ilmu dan pengetahuan.

Tema dan tagline kita untuk setiap hari-hari penting di dunia pendidikan adalah "Daulat Belajar, Untuk Pendidik Berkebutuhan Khusus". Ya, ini adalah "menu" hotel bintang lima yang disediakan bagi para pendidik berkebutuhan khusus, yang terus bergerak berburu baru tanpa henti dan tanpa instruksi dengan penuh inovasi untuk tetap dalam barisan "Guru Bergerak" untuk mencapai Daulat Belajar. Ini adalah bukan menu "given" dan harus diadopsi, melainkan menu yang harus diadaptasi sesuai dengan kebutuhan dan cita rasa lidah para Guru Bergerak.

DAULAT BELAJAR adalah program kebijakan dari Harmoni Pendidik Pengajar Indonesia (HIPPER Indonesia) yang sebelumnya dikenal sebagai komunitas Himpunan Pendidik Penggerak 4.0 (HIPPER 4.0) yang diinisiasi dan berdiri pada 24 November 2019. DAULAT BELAJAR adalah program yang di luncurkan HIPPER Indonesia secara resmi pada 5 Desember 2020 tahun lalu dalam rangkaian memperingati Milad ke-1 HIPPER Indonesia. 

Konsep Daulat Belajar ini secara resmi diperkenalkan oleh Fathur Rachim (Mandikbud) yang juga Pendiri dari HIPPER Indonesia pada kegiatan diskusi bertajuk "BAGAIMANA SAHABAT HIPPER MENYIKAPI DINAMIKA PENDIDIKAN SAAT INI?" yang diadakan pada tanggal 5 Desember 2020 di Channel HIPPER Indonesia. Simak Beritanya diSINI.

Daulat Belajar adalah sebuah konsep pendidikan dimana belajar yang bertuah dan penuh makna dicapai dengan memberikan kekuasaan dan keleluasaan kepada para pembelajar baik guru maupun siswa dalam merencanakan, merancang serta berproses untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diliputi rasa kebahagian dalam aplikasinya.

Cara terbaik belajar adalah dengan mengajarkannya, untuk itu jadilah seorang guru, minimal guru bagi diri sendiri. Sehingga pembelajar (guru dan siswa) terlebih jika dia adalah seorang guru maka harus benar-benar memahami secara mendalam bagaimana seharusnya berprilaku, bersikap dan bertindak sebagai seorang "Guru". 

Guru memiliki peran yang sangat penting dan tidak tergantikan oleh teknologi dalam membangun kompetensi peserta didik agar dapat hidup bermasyarakat hari ini dan terlebih dimasa mendatang. Jika kita sering mendengar istilah "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya", maka begitu pula output dan outcome peserta didik, hasilnya tidak akan jauh dari gurunya, baik guru disekolah, guru dirumah (orang tua dan saudara) maupun guru dimasyarakat (tetangga, teman bermain) sebagai bagian dari Tri Pusat Pendidikan.

Sejatinya, peserta didik itu adalah cerminan dari proses yang dilakukan oleh gurunya. Jika pantulan cerminnya kabur, samar atau blur, maka bisa dipastikan ada yang salah dalam prosesnya. Bisa saja itu pantulan gurunya disekolah atau ada faktor "guru" lain sehingga hasilnya tidak maksimal. Untuk itulah Daulat Belajar diperlukan.

Belajar merdeka tidaklah cukup, karena Merdeka namun tidak Berdaulat juga tidak akan berdampak signifikan, perlu Daulat Belajar bagi pendidik dan peserta didik. Banyak hal yang membuat siswa dan guru tidak dapat berdaulat dalam belajar. Banyak guru terbelenggu dengan administrasi pembelajaran yang nampak begitu indah dalam tatanan adminsitratif. Banyak guru tak berdaulat atas proses pembelajaran yang mereka lakukan. Banyak guru tersandera oleh berbagai sintaks model-model pembelajaran yang dilatihkan secara resmi, dan ketidak berdaulatan lainnya. Tampak merdeka namun masih tersandera.

Begitupula yang terjadi pada siswa sebagai seorang pembelajar mereka juga tidak berdaulat dengan tuntutan guru dengan kurikulum yang kurang memberikan efek dan manfaat untuk kehidupan mereka saat ini dan mendatang. Fokus masih pada ketercapaian konten, bukan pada kompetensi masih terus terjadi. Hal ini diperparah dengan tidak adanya cetak biru pendidikan di level nasional, level satuan pendidikan yang jelas dan terukur, serta ambigu dan membingungkannya berbagai peraturan perundangan baik peraturan pemerintah, peraturan menteri, surat edaran hingga  juknis/juklak yang ada terkadang memperparah potret pendidikan kita. 

Sebagai contoh, misalnya pada Standar Kompetensi Guru (SKG) kita masih mengacu pada Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 yang mana usianya sudah cukup tua untuk sebuah ukuran/standar yang digunakan, yakni hampir 13 tahun. Disisi lain kita menuntut guru-guru kita memiliki kompetensi lebih dan kecakapan abad 21 begitu pula dengan peserta didiknya, sementara payung hukum dan landasannya saja belum diperbaiki dan diupdate hingga saat ini. Lalu bagaimana dapat membekali peserta didiknya, jika landasan hukumnya belum diupdate, gurunya belum dilatihkan mengenai kompetensi itu.

Contoh lain seperti pembelajara jarak jauh (PJJ) atau BDR yang diselenggarakan saat ini yang tertatih-tatih sebagai bukti bahwa memang kita tidak punya cetak biru pendidikan untuk mengantisipasi dan mengatasi kejadian-kejadian seperti ini yang bisa saja terjadi lagi untuk tahun-tahun mendatang. Ada permasalahan akses dan mutu yang sudah sejak lama terjadi namun belum mampu diselesaikan secara komprehensif.

Hal lain yang membuat MBS atau sekolah tidak bisa berdaulat misalnya dengan sistem data pokok pendidikan yang acap kali malah membelenggu sekolah bahkan menggiring sekolah kepada kemunduran kualitas. Contohnya berdasarkan Permendikbud 22 Tahun 2016 dan Permendikbud 17 Tahun 2017 didalam penentuan jumlah siswa MAKSIMAL dalam satu rombel untuk SMA maksimal 36 siswa, SMP 32 siswa dan SD 28 siswa. Namun DAPODIK akan bertindak sesuai dengan "keinginannya", bukan sesuai keinginan peraturan dengan membuat jebakan, semua rombel harus 36 (SMA) atau memenuhi rasio (jumlah siswa/36) dengan pembulatan keatas, artinya DAPODIK menabrak ketentuan dalam Permendikbud tersebut yang tidak ada batas minimum, begitupula pada jenjang lainnya. Jika ingin membatasi tuangkan saja di Permendikbud agar kebijakan itu terukur tidak terkesan tambal sulam dan seperti tidak terencana dengan baik.

Akhirnya sekolah-sekolah swasta dan sekolah-sekolah negeri "bagus" yang biasanya "lebih senang" dengan jumlah anggota rombel kecil (minimal) untuk mempermudah pengelolaan kelas dan lebih bisa memberikan pelayanan maksimal bagi peserta didik, tertular dan "dipaksa" juga harus mengikuti DAPODIK yang jelas-jelas melanggar ketentuan yang ada, dalam istilah Ombudsman ini adalah "malpraktik" dalam penyelenggaraan pendidikan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dilakukan oleh "mereka" sendiri.

Konsep Daulat Belajar yang dikemukakan diatas, harus didukung dengan instrumen yang juga mendukung untuk dapat terlaksananya "DAULAT BELAJAR" di satuan pendidikan untuk menciptakan suasana belajar yang bahagia tanpa dibebani pencapaian skor tertentu namun juga tanpa dibelenggu oleh aturan-aturan yang membuat guru dan sekolah tidak mampu bergerak leluasa dalam berkarya untuk mendidik anak bangsa.

Pokok-pokok kebijakan dari DAULAT BELAJAR ini meliputi:

  1. Daulat Pendidikan

  1. Daulat Tata Kelola Lembaga Pendidikan

  2. Daulat Tata Kelola Pendidik

  3. Daulat Tata Kelola Tenaga Kependidikan

  4. Daulat Sistem dan Kebijakan 

  5. Daulat Akses Pendidikan

  6. Daulat Penganggaran

  1. Daulat Sekolah

  1. Daulat Manajerial Satuan Pendidikan

  2. Daulat Pengembangan Kurikulum

  3. Daulat Pembelajaran

  4. Daulat Sistem Asesmen

  5. Daulat Pembiayaan

  1. Daulat Guru ---> Guru Bergerak

  1. Daulat Mengajar

  2. Daulat Asesmen

  3. Daulat Pengembangan Kompetensi 

  4. Daulat Administrasi Pembelajaran

  5. Daulat Administrasi Kepegawaian

  6. Daulat Penghargaan

  7. Daulat Berorganisasi

4. Daulat Siswa
  1. Daulat Prestasi

  2. Daulat Kompetensi

  3. Daulat Berorganisasi

Kebijakan Daulat Belajar ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, sampai dengan saat ini, Indonesia masih belum memiliki cetak biru pendidikan yang utuh dan dapat menggambarkan mau dibawa kemana pendidikan kita kedepannya. Kebijakan yang ada saat ini nampak parsial dan sepotong-sepotong, seperti tambal sulam kebijakan.

Terlepas dari hasil Programme for International Student Assesment (PISA) yang dari tahun ke tahun tidak ada perubahan dan perbaikan yang cukup signifikan, karena selalu berada di deretan juru kunci untuk bidang literasi dan numerasi, Indonesia perlu merujuk dan mengadaptasi beberapa standar internasional dalam bidang pendidikan.

Menyikapi hal itu, perlu ada gebrakan dalam penilaian jika ingin diawali dari hilirnya dengan High Quality Test Item Based (Hi-QTI Based) berbasis bank soal sekolah dengan model adaptive test. Di level nasional asesmen yang telah ada dan dipandang baik (AN), tetap dapat dilanjutkan sebagai bentuk pemetaan sebagai bagian dari Daulat Sistem Asesmen, namun jangan sampai AN itu mengulang cerita UN saja, akhirnya kembali kepada teaching to the test.

Disisi pembelajaran perlu didorong pendekatan STEAM dengan model problem based dan project based serta metode-metode pembelajaran baik yang basisnya behavioralisme maupun konstruktivisme seperti design thinking maupun computational thinking dengan flipped classroom dan blended learning yang diramu dalam hybrid system atau multi learning pathways.

Pandemi atau mungkin bencana bisa saja berulang, lalu apa yang bisa kita siapkan agar kedepannya tidak tertatih-tatih lagi, defisit kompetensi dan capaian pembelajaran telah terjadi karena handicap PJJ tidak mampu secara maksimal dan tuntas kita selesaikan. Pemberian kuota hanyalah suplemen akses, sedangkan masalah aksesnya sendiri masih terus terjadi, apalagi jika ingin mengejar mutu. Indonesia, dalam hal ini "negara" harus hadir melalui Kemdikbud agar memiliki Provider sendiri, sebutlah namanya DIKBUD SATELINDO khusus pendidikan untuk mengatasi kesenjangan akses agar tidak "didikte" oleh provider yang ada saat ini, agar kedepan energi kita bisa difokuskan pada peningkatan mutu sebagai bagian dari Daulat Akses Pendidikan.

Seperti pesan penasehat HIPPER Indonesia, bapak Deni Hadiana, "HIPPER mungkin bukan Juru BICARA yang baik bagi Pemerintah, namun HIPPER adalah Juru Bicara para guru yang terus berburu baru, berpikir dan berjuang menjadikan sekolah kampung tidak kampungan, Juru MASAK yang mampu meramu dan mengembangkan resep maskan sendiri dan yang super malu mengaku masakannya paling lezat dan nikmat, namun lebih bahagia jika hasil masakannya dicicipi dan diakui kelezatannya oleh orang atau pihak lain, Juru Kemudi yang mampu mengawal dan menakhodai Bahtera baik saat cuaca buruk, terlebih saat cuaca cerah."

Tentu kesemuanya itu akan dirumuskan lebih lengkap, holistik dan mendalam melalui cetak biru pendidikan Indonesia untuk melaksanakan amanat negara dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional kita agar tidak salah arah. Jika meminjam istilah bapak Indra Charismiadji, "seperti halnya Gojek, titik jemput dan titik antar harus jelas, rutenya dan biayanya".

Dengan berdaulat nya guru, banyak praktik baik yang akan terjadi, yang akan menjadi pembiasaan, dengan berdaulatnya guru, tak ada lagi kungkungan model dengan berbagai sintaks yang terlalu teoritis, yang diperlukan hari ini, bagaimana belajar itu mendatangkan kebahagiaan., bagaimana belajar itu menemukan sesuatu yang bermakna, dari sekitar tempat mereka berada, dan bagaimana belajar itu menghasilkan suatu cara dan model yang menyenangkan bagi mereka, ucap salah seorang fungsionaris HIPPER Indonesia, ibu Gunneri Holy Irda.

Memang ada pribahasa yang mengatakan "apalah arti sebuah nama?". Apalah arti sebuah istilah merdeka belajar, belajar merdeka atau DAULAT BELAJAR. Tapi mungkin paling tidak terjadi diskursus akan hal ini. Nama atau istilah, sedikit banyak akan berpengaruh pada orangnya, PEMERINTAH itu dimaknai orang sebagai tukang perintah. Makanya tidak heran juga mentalitas oknum pejabat bukan melayani. Jika melihat di Timur Tengah, mereka menyebut Khadim al-Haramain as-Syarifain (PELAYAN Dua Rumah Suci) yakni Gelar yang disematkan kepada "pemerintah" mulai dari dinasti Ayubbiyah, Ottoman hingga Arab modern yang mengurusi 2 kota suci tersebut. Yup, PELAYAN. Sekali lagi apalah arti sebuah nama, tapi paling tidak akan membentuk mindset orang yg bernaung di bawah nama tersebut dan mengingatkan mereka bahwa dia adalah PELAYAN untuk melayani rakyatnya. Masyarakat pendidikan dibentuk oleh iklim pendidikan yang meliputinya. DAULAT BELAJAR bagi sebagian orang dianggap bentuk autokritik atas apa yang terjadi selama ini, tidak hanya sekedar berganti istilah. DAULAT BELAJAR mungkin bentuk satire yg dihembuskan HIPPER sebagi fungsi kontrol sekaligus masukan kepada penguasa. Harapannya, mungkin akan terjadi penetrasi dan perubahan dari masyarakat pendidikan yang feodal menjadi modern dan aspiratif.

Akhirnya, ditutup dengan quote mas Ary Gunawan (Wakil Sekretaris HIPPER Indonesia) "DAULAT BELAJAR, DAULAT GURU INDONESIA !!! "

Selamat HARI PENDIDIKAN NASIONAL 2021 !

Kalimantan Timur, 2 Mei 2021

Fathur Rachim (Mandikbud)
Ketua Umum HIPPER Indonesia

JIka ayam potongnya baru mau belajar merdeka mencari makan, tapi kakinya diikat oleh sang pemilik, susah juga kan😆💪


Diskusi Daring
 

 Paparan Ibu HETIFAH.  

Paparan Bapak Fathur.


Related

viral 672329324430072569

Posting Komentar

Terimakasih atas saran dan tanggapannya, segera akan dibalas !

emo-but-icon

Follow Me !

Viral

item