OKE

SEJARAH GUNUNG STELING SAMARINDA

Menyimak beberapa pemberitaan terakhir, baik di media cetak maupun media eletronik serta di beberapa media sosial tentang wisata yang lagi trend di kota Samarinda yakni "SUNSET di Bukit Steling" membuat saya semakin tertarik untuk membuat tulisan ini, untuk sekedar berbagi "cerita" tentang latar belakang sejarang gunung Steling Samarinda.

Sebenarnya sudah lama saya tidak mendaki atau menginjakkan kaki di puncak bukit tersebut, seingat saya mungkin terakhir kali mendaki kesana pada akhir tahun 90an atau awal tahun 2000 atau sudah 20 tahun yang lalu dalam misi camping, berburu atau main layang-layang, entahlah saya pun sudah lupa. Pastinya sudah banyak perubahan diatas sana, dan saya hanya bisa mengetahuinya dari update-an status orang-orang yang baru-baru ini sudah berwisata kesana.

Ketika melihat keindahan foto-foto bukit steling yang di share di banyak media, saya tidak terlalu terkejut lagi karena memang bukit itu menyimpan keindahan pemandangan alam yang luar biasa terlebih dikala senja atau saat matahari terbit. Pada arah Barat atau Barat Laut anda akan melihat penampakan sungai Mahakah yang mengular di hiasi kapal-kapal yang hilir mudik, sementara di arah Utara atau Timur Laut tampak denyut nadi kehidupan kota Samarinda, sedangkan di arah Timur, Tenggara serta Selatan terhampar perbukitan yang menghijau dengan teriakan deru angin dan suara burung Elang serta rekan-rekannya tatkala siang hari.

Sampai detik saya menulis tulisan ini, saya pun masih belum memiliki kesempatan untuk menginjakkan kaki dan menapaki jalan-jalan terjal menuju puncak bukit tersebut, semoga ada waktu disuatu hari nanti kembali dapat hadir dipuncak bukit steling tersebut.

Sebagai gambaran, untuk dapat sampai dipuncak bukit tersebut dapat melalui beberapa jalur pendakian, yakni melalui jalur Utara (Jl. Otista) Tenggara (Jl.S.Alimudin) Barat (Jl. Gurami) atau Barat Daya (Lumba-lumba). "Bukit Steling" ini berada diantara dua buah gunung (bukit), yakni Gunung Selili, Gunung Manggah atau Gunung Sejuk.

Akses terdekat menuju puncak steling ini adalah melalui Masjid Al Kamal jalan Lumba-Lumba, namun jalan yang cukup sempit untuk kendaran roda 4 serta lokasi parkir yang terbatas membuat titik pendakian melalui jalur ini tidak direkomendasikan. Bagi pengguna kendaraan roda 4 akan lebih baik melalui jalur RS Jiwa / RS. Islam di jalan Gurami dengan lokasi parkir di seputar RS. Jiwa. Melalui jalur ini meskipun sedikir lebih jauh namun jalur pendakian sedikit lebih landai. Jalur lainnya yang lebih jauh dan menantang adalah melalui gunung Manggah (otista) dengan banyak plihan titik pendakian.

Ketika berbicara mengenai pengembangan kawasan diseputar anak gunung steling maka tidak lupa dengan keberadaan perusahan Kalimanis Group yang turut andil dalam pengembangan kawasan ini. Sejak Presiden Soeharto meresmikan Pembukaan Pabrik ” Veneer’ dan “Plywood’ PT. Kalimanis Plywood Industries pada tanggal 1 Agustus 1977 Log Pond Selili Samarinda maka kawasan ini turut berkembang khususnya wilayah Selili, Sungai Kerbau, Sungai Kapih yang kala itu aksesnya masih melalui jalur sungai. 

Sumber: suharto.co

Sedangkan kawasan Sambutan baru mulai terbuka sekitar 10 tahun berikutnya yakni sekitar tahun 1984 tatkala SMPN 9 Samarinda di buka sekaligus membuka akses jalur darat dari arah jalan Otto Iskandardinata menuju Kalimanis via sambutan (Jl. S.Alimudin) yang saat itu masih berupa jalan setapak dengan membelah dan memangkas ketinggian gunung Manggah hingga akhir tahun 1980an seperti tampak pada gambar.

Sumber: korankaltim.com

Mungkin anda sudah pernah mendengar dan menyaksikan keberadaan goa yang konon merupakan peninggalan zaman Jepang diseputaran lereng gunung selili daerah jalan lumba-lumba. Ya sebenarnya goa atau bunker-bunker persembunyian ini memang ada sejak zaman Jepang bahkan sebelum itu. Bunker-bunker tersebut cukup banyak tersebar diseputaran kaki gunung  steling dan gunung manggah sebagai tempat persembunyian masyarakat dari tentara Jepang dan bom-bom yang mereka jatuhkan.

Sekitar tahun 1954an di jalan Otto Iskandardinasa tidak jauh dari Masjid Asy-Syuhada yang saat itu berada di sisi sungai juga terdapat goa/bunker tempat perlindungan warga masyarakat, dalam setiap bungker ini bisa menampung beberapa keluarga. Bungker tersebut telah dirubuhkan dan lokasinya dijadikan rumah warga, begitupula beberapa bungker lainnya yang ada didaerah ini.

Ya, jalan Otto Iskandardinata (Otista) pernah beberapa kali mengalami perubahan nama. Jalan Otista ini sebelumnya bernama jalan Tenggiri, dan sebelumnya lagi bernama jalan Bangau. Dan sebelum bernama jalan Bangau, nama jalan Otista ini adalah jalan Durian. Sebagai informasi tambahan disisi sungai (dahulunya ada sungai besar yang mengalir dan bermuara ke sungai karang mumus) di jalan Otista ini terdapat pekuburan China dan pekuburan Belanda serta beberapa tentara sekutu (Australia), lokasinya berada diseputaran gang Steling saat ini. Adapun pekuburan tersebut kini sudah menjadi rumah-rumah penduduk.

Lalu, bagaimanakah sejarah Gunung Steling itu sendiri ? Tidak banyak orang yang mengetahui mengapa diberi nama gunung Steling, karena warga asli yang menghuni daerah seputaran anak gunung manggah dan gunung steling ini sudah tidak ada lagi, generasi-generasi mudanya saat ini kebanyakan pendatang baru sehingga ketika ditanya ditak ada yang mengetahui persis hal ikhwal penamaan gunung tersebut.

Markas Jepang di Samarinda

Penulis beberapa puluh tahun lalu pernah bertanya kepada salah satu tokoh yang ada di jalan Otista ini mulai dari jalan tersebut masih bernama jalan Durian hingga menajdi jalan Otto Iskandardinata seperti sekarang, beliau sudah tinggal disitu sejak sebelum zaman perang kemerdekaan. 

Dahulu di puncak gunung tersebut ada semacam tower atau menara pantau untuk memantau pesawat-pesawat musuh sekaligus sebagai benteng pertahanan pertama dari serangan udara musuh terhadap pangkalan atau markas Jepang yang ada di pusat kota Samarinda.

Para serdadu yang bertugas di menara pantau tersebut kakinya diikat dan dirantai sehingga tidak bisa lari dan harus mempertahankan benteng tersebut hingga titik darah penghabisan. Saat itu pasukan sekutu (Australia) yang oleh masyarakat awam lebih dikenal sebagai pasukan Inggris atau Sterling. serdadu tersebut bertugas untuk menghalau pasukan Sterling.

Maka sejak saat itulah bukit/gunung itu diberi nama Sterling atau masyarakat menyebutnya Steling/Steleng yakni nama menara pantau untuk serdadu Jepang memantau pasukan Sterling yang sekaligus sebagai benteng pertahanan pertama dari serangan pesawat-pesawat sekutu (sterling).

Demikian sedikit sejarah gunung STERLING atau STELING atau STELENG yang dikutip dari cerita-cerita yang berkembang dimasyarakat sekitar. JIka ada cerita lain silahkan untuk disampaikan untuk menambah wawasan kita bersama. 

Sumber cerita:

H.M.Darmansyah (alm) alias H.Idup alias H.M Ali Bardan bin H.Amir Husin bin H.Pilin dan Hj. Aisyah binti Marhanang

 


Related

viral 8038783443477546772

Posting Komentar

  1. Beberapa saran koreksi:

    1. Di sekitar muara sungai Karang Mumus, ada dua bukit yang memanjang utara selatan
    2. Sisi selatan tempat di mana sungai Karang Mumus berada, nama aslinya adalah Bukit Selili, atau dalam catatan Belanda dikenal sebagai G. Salili.
    3. G adalah kependekan dari Gunung, bahasa setempat untuk menyebut gundukan bebatuan di antara dataran sekitarnya. Dalam kosakata lebih umum, menurut ketinggian relatif dibandingkan dataran sekitarnya, untuk gundukan bebatuan di Selili, lebih tepat disebut sebagai bukit.
    4. Sisi utara dari Bukit Selili, dikenal di catatan Belanda sebagai G. Damar atau Bukit Damar, karena dulu banyak pohon yang banyak menghasilkan damar/ getah pohon di bukit tersebut.
    5. Nama Bukit Damar tidak dikenal lagi sekarang, tapi masih ada dalam ingatan sedikit orang. Perihal nama Selili dan Damar, bisa diperiksa di buku "Borneo: It's Geology and Mineral Resources" terbitan tahun 1892 yang ditulis oleh Posewitz.
    6. Jejak nama Damar masih bisa dikenali dari sungai yang membelah kawasan bukit tersebut dan bermuara di sungai Karang Mumus dengan nama sungai Dama. Huruf R yang menjadi samar/ hilang, kemungkinan karena pengaruh dialek masyarakat setempat kala itu.
    7. Nama Steling adalah sebutan yang baru dikenal setelah era Perang Pasifik (setelah 1942), dari bahasa Belanda, yang satu dari sekian makna "stelling" dalam bahasa Belanda adalah "(tempat) bertahan", dengan contoh pemakaian dalam kalimatnya yakni "We houden de stelling zo lang als we kunnen" atau dalam bahasa Indonesia berarti "kami akan bertahan selama kami bisa".
    8. Stelling tidak berkaitan dengan kata "sterling" yang disebut dalam artikel, meski mungkin digali dari narasumber terkait, yang tampaknya hanya perkiraan belaka, yang dikaitkan dengan nama tokoh Westerling. Westerling adalah komandan pasukan Belanda yang terkenal karena memimpin Pembantaian Westerling (1946-1947) di Sulawesi Selatan dan percobaan kudeta APRA di Bandung, Jawa Barat. Westerling adalah peranakan Belanda dan Yunani, bahkan. Tiada Inggrisnya sama sekali.
    9. Sebutan Gunung Manggah lebih ke menunjukkan tanjakan jalan Otista (kependekan dari Otto Iskandar Dinata) yang melewati punggungan bukit dan niscaya membuat terengah-engah orang yang berjalan kaki. Terengah-engah dalam bahasa setempat disebut manggah. Gunung Manggah
    sebenarnya masih menjadi bagian dari punggungan bukit Selili.

    Salam,

    Fajar Alam

    BalasHapus

Terimakasih atas saran dan tanggapannya, segera akan dibalas !

emo-but-icon

Follow Me !

Viral

Arsip Blog

Langgan

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

HIPPER

HIPPER
Harmoni Pendidik Pengajar Indonesia

Tayangan

item